Senin, 08 Oktober 2012

Cerpen


  Cahaya Abadi

                “kubuka album biru....penuh debu dan usang......”
                Lagu itu mengalun sempurna dari handphone ku, membuka lembaran-lembaran memori masa lalu. Mengingatkan aku pada sosok seorang wanita penyabar dan tegar. Sifatnya hangat bagai mentari. Tak terasa basahlah mataku oleh butiran-butiran air mata.
             
  Dulu, saat aku sedih wanita itu datan menghampiriku, membawakanku segelas teh hangat, menenangkanku dengan sentuhan kasihnya. Saat aku bahagia dia selalu mewejangiku dengan mutiara-mutiara abadi dari mulutnya. Mendengarkan suaranya saja sangat menenangkan. Huuh!!! Aku ingat betul dua tahun yang lalu, seorang lelaki yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga pergi. Dia mencampakkan kami, dia pergi entah kamana. Perhiasan ibu dan surat-surat tanah dibawanya.
                “ayah, mau kemna?” kata ibu.
                Dia hanya berlalu tak sedikitpun menghiraukan kami. Sejak saat itulah ibu bekerja sendirian. Mencuci baju tetangga, menjahit baju, hingga membuka warung itulah yang ibu kerjkan. Tak jarang sepulang sekolah aku membantunya.
                “nduk, gapailah cita-citamu setinggi langit” itulah kalimat yang sering ia katakan, “nduk, belajarlah yang rajin jangan seperti ibumu ini, Cuma ada ijasah SMP gak bisa kerja apa-apa. jangan lupa sholat juga” kalimat itulah yang menjadi selingan wejangannya.
                Siang itu aku pulang dengan ceria, dengan senyum mengembang dan sedikit berdendang. “pasti ibu senang mendengar kabar bahagia ini. Tiba-tiba.....
                “Caca-caca, cepet kamu ke rumah sakit ibumu masuk rumah sakit” suara bu Mega tetangga sebelah mengagetkan ku. Segera aku pergi dengan sepeda motor butut yang aku peroleh dari uang jerih payahku dan tabunganku.
                Ibu tak pernah bercerita bahwa ia sakit, tepatnya kangker otak stadium empat. Saat itu aku tak bisa melakukan apa-apa. yang kulaukan hanyalah menangis. Ditengah keterbatasan hidup, kami tidak pernah berfikir akan terjadinya penyakit mematikan ini diantara kami.
                “nona, tidak ada pilihan lain, hidup ibu nona hanya tinggal tiga hari lagi” diaknosa dokter mengatakan seperti itu. Tak mungkin, ibu akan bertahan hingga aku menjadi orang yang sukses. Melihatku menggapai mimpi-mimpiku.
                Kini!! 31 Desember 2012
                Langit kota Sydney malam hari, gemerlap bintang di langit. Terlihat wajah tegar ibu diantara triliunan bintang. Ibu aku baik-baik saja. Di sini, aku akan mewujudkn permohonanmu. Aku akan petuhi wejanganmu di sini. Sayang, kau tak sempat mendengar kaber bahagia itu. Tapi, aku yakin kau dapat melihat aku di sini. Walau kau telah pergi namun, cahayamu kan tetap abadi. Di sini, si hatiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar